Perbandingan Keamanan: Open Source vs Closed Source di Kripto

by -40 Views

Dunia kripto awalnya dikenal sebagai gerakan akar rumput yang penuh semangat terbuka (open source). Teknologi seperti Bitcoin diciptakan dengan tujuan agar siapa pun bisa melihat, memeriksa, dan turut berkontribusi pada kode programnya. Prinsip transparansi dan keterbukaan menjadi dasar yang penting sehingga orang bisa percaya pada sistem ini karena segalanya bisa diperiksa secara langsung.

Namun, seiring perkembangan teknologi kripto, muncul tantangan dari sisi open source. Banyak proyek baru seperti platform smart contract dan aplikasi keuangan terdesentralisasi (DeFi) yang kode programnya disalin oleh pihak lain (disebut “fork”) untuk membuat produk serupa dengan tujuan keuntungan semata, tidak lagi mengedepankan idealisme aslinya.

Misalnya, ada banyak versi tiruan dari Uniswap dan Ethereum yang lebih fokus pada kecepatan dan biaya murah namun mengabaikan aspek desentralisasi. Sebagai respons terhadap hal ini, beberapa tim pengembang memilih untuk menutup akses ke kode sumber mereka (closed source) sebagai langkah perlindungan terhadap desain mereka dan untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak berwenang atau pesaing. Dengan membuat kode program lebih sulit diakses, diharapkan risiko terhadap serangan bisa berkurang.

Namun, tindakan ini juga menuai kritik. Beberapa orang menyebutnya sebagai “keamanan melalui kerahasiaan”, artinya sistemnya tidak benar-benar aman tapi kelemahannya disembunyikan. Pendekatan yang bersifat tertutup ini dianggap tidak sejalan dengan semangat awal dunia kripto yang menghargai keterbukaan, transparansi, dan kontrol dari komunitas secara kolektif, bukan hanya dari segelintir individu. Apa yang awalnya dimulai oleh para “cypherpunk” dan penggemar kebebasan digital, sekarang mulai berubah menjadi sistem yang terasa semakin mirip dengan institusi keuangan tradisional yang sebelumnya mereka lawan.

Source link