Jakarta, Waspada.co.id – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Said Abdullah, menyatakan bahwa kerja sama politik dalam Pilkada Serentak 2024 harus dipahami sebagai kontestasi demokratis bukan ajang permusuhan.
Hal ini disampaikan Said untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan daerah-daerah di mana calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusung oleh PDIP dianggap bersaing dengan calon dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).
“Kita harus melihat bahwa kerja sama politik dalam pilkada harus kita maknai sebagai kontestasi demokratis, bukan sebuah permusuhan politik. Cara pandang ini harus jelas terlebih dahulu,” kata Said seperti dilansir dari laman republika, Senin (23/9).
Menurutnya, Pilkada adalah jalur demokratis dan konstitusional untuk memilih pemimpin daerah. Setelah Pilkada berakhir, pihak-pihak yang sebelumnya bersaing seharusnya dapat bersatu kembali dan bekerja sama untuk membangun daerah sesuai peran masing-masing.
Dia juga menilai bahwa terbentuknya kerja sama politik dalam Pilkada di beberapa daerah oleh KIM, atau bahkan KIM Plus, harus dilihat dalam konteks politik pasca-Pilpres dan sebelum munculnya Putusan MK Nomor 60 pada 20 Agustus 2024.
“Saat itu ada keinginan dari beberapa elit politik untuk mencapai kesuksesan pada Pemilu dalam Pilkada. Namun setelah munculnya Putusan MK No. 60 tahun 2024, dan munculnya beberapa calon kepala daerah, peta politik telah berubah,” ujarnya.
Said memberikan contoh pemilihan gubernur Jakarta di mana rencana awal untuk menggantikan Ridwan Kamil dari Jawa Barat ke Jakarta, dengan tujuan menghadapi Anies Baswedan, berubah dengan munculnya Pramono Anung.
“Figur Mas Pram menjadi titik temu antara Pak Jokowi, Pak Prabowo dan Ibu Mega. Fakta politik baru inilah yang harus kita cermati, agar tidak hanya terpaku pada kerjasama politik formalistik,” jelas Said.
Demikian pula dengan munculnya figur Andika Perkasa di Jawa Tengah. Andika pernah menjadi ‘simbol’ karena pernah menjabat pimpinan TNI, sehingga latar belakangnya tidak bisa dianggap remeh.
“Situasi ini juga mengubah peta Pilkada di Jawa Tengah. Terlebih lagi Andika juga memiliki hubungan baik dengan Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Bahkan Andika pernah menjadi pembantu Pak Jokowi saat menjabat Komandan Paspampres yang menjaga 24 jam Pak Jokowi,” ungkapnya.
Said menekankan bahwa kontestasi Pilkada adalah tentang figur yang ‘dijual’ kepada rakyat, figur yang mencakup prestasi, rekam jejak, kemampuan komunikasi politik dengan pemilih, strategi pemenangan, dukungan logistik, dan jaringan sosial.
“Dalam survei sering muncul fenomena split ticket voting, di mana pendukung partai A bisa saja memilih kandidat dari partai B karena dianggap lebih memenuhi harapan mereka. Faktor split ticket voting dalam Pilkada ini cukup besar,” tambah Said.
“Dengan demikian kita tidak bisa terpaku hanya formalitas kerja sama politik,” tutupnya.