Diduga Oknum Penggugat Megawati Soekarnoputri Sebagai Kader Golkar – Waspada Online

by -74 Views

Jakarta, Waspada.co.id – Ada yang menarik dari pengakuan lima kader PDI Perjuangan yang namanya dicatut sebagai pihak penggugat kepengurusan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Kelima kader tersebut diupah Rp300 ribu oleh seorang pengacara agar menandatangani kertas kosong yang digunakan sebagai pemberian kuasa untuk menggugat.

Lantas siapa pihak yang berkepentingan untuk mengobrak-abrik PDIP? Benarkah sang pengacara bergerak sendiri?

Politikus PDIP Guntur Romli melalui kicauan di Twitter yang sudah dikonfirmasi oleh republika.co.id, menulis tentang sosok Anggiat BM Manalu yang mengajukan gugatan terhadap Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati.

“Anggiat BM Manalu mengatasnamakan lima orang kader PDI Perjuangan yang belakangan mereka mengaku dijebak dan diberi uang Rp300 ribu. Setelah mengaku, lima orang itu meminta maaf kepada Ibu Megawati dan seluruh kader PDI Perjuangan,” ujarnya.

Dari rekam jejak melalui poster dan berita online tahun 2019, kata Guntur Romli, Anggiat BM Manalu adalah Pengurus Bakastratel DPP Golkar, Wasekjen Depinas Soksi dan Caleg DPR RI Partai Golkar Nomor Urut 10 dari Dapil Sumut III.

Dari pengakuan lima orang yang mengaku kader PDI Perjuangan dan merasa dijebak, mengungkap bahwa gugatan yang diajukan oleh Anggiat BM Manalu merupakan rekayasa dan konspirasi jahat. Mereka bertujuan untuk mengganggu PDI Perjuangan dan Ketua Umum Ibu Megawati.

“Mengaku sebagai advokat, maka Anggiat BM Manalu telah melanggar kode etik profesi advokat dengan merekayasa suatu gugatan bahkan dengan pesanan dan bayaran seperti pengakuan lima orang yang mengaku kader PDI Perjuangan itu,” ujarnya.

Guntur Romli meminta Golkar untuk klarifikasi terkait status keanggotaan dari Anggiat. “Dari rekam jejak sebagai Caleg Partai Golkar, apakah Anggiat BM Manalu ini masih menjadi pengurus atau anggota Partai Golkar, maka silakan Partai Golkar melakukan klarifikasi,” tulisnya.

Akan mencabut gugatan

Kelima kader PDIP berjanji akan mencabut gugatan tersebut. Kelima kader asal Jakarta Barat (Jakbar) itu, Jairi, Djupri, Manto, Sujoko, dan Suwari mengaku ditipu oleh seorang pengacara, dengan imbalan Rp300 ribu agar menandatangani kertas kosong yang digunakan sebagai pemberian kuasa untuk menggugat.

Jairi, salah satu dari kelima kader tersebut pada Rabu (11/9) lalu, menyampaikan sudah memohon maaf terbuka kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Permintaan maaf tersebut, kata Jairi juga disampaikan kepada seluruh kader Banteng Moncong Putih se-Indonesia.

“Saya mewakili teman-teman saya, meminta maaf kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Hajjah Megawati Soekarnoputri, beserta seluruh keluarga besar PDIP seluruh Indonesia,” kata Jairi dalam siaran pers PDI Perjuangan yang diterima wartawan, Rabu (11/9) malam.

Permohonan maaf tersebut, Jairi sampaikan dalam konferensi pers di Cengkareng, Jakbar. Hadir pula dalam permintaan maaf terbuka tersebut, Djupri, Manto, Sujoko, dan Suwari yang disebut-sebut sebagai kader yang melayangkan gugatan. Jairi menerangkan, bersama empat rekannya sesama kader, tidak mengetahui perihal gugatan tersebut. Karena diceritakan dia, bersama-sama rekannya itu, pun juga merupakan korban dari penipuan dan penjebakan.

Jairi menceritakan awal mula penjebakan, dan penipuan tersebut pada saat bertemu dengan seorang pengacara. “Saya bersama empat teman saya (Djupri, Manto, Sujoko, dan Suwari) bertemu dengan Anggiat BM Manalu (pengacara) di sebuah posko tim pemenangan,” kata Jairi.

Dari pertemuan tersebut, kata Jairi, pengacara tersebut membahas, dan meminta dukungan perihal penegakan demokrasi. Jairi, bersama empat temannya itu, mengaku sepakat tentang penegakan demokrasi. Pun Jairi, bersama-sama empat rekannya itu, setuju untuk mendukung demokrasi yang dibahas itu.

“Karena sepakat dengan demokrasi, kami bersedia memberikan dukungan. Ketika memberikan dukungan, diberikan kertas putih kosong untuk tanda tangan. Dan kertas putih kosong (yang ditandatangani) tersebut, belakangan dijadikan sebagai surat kuasa gugatan untuk menggugat SK DPP PDIP,” kata Jairi.

Setelah memberikan tanda tangan di kertas putih kosong tersebut, si pengacara itu, kata Jairi, memberikan uang ratusan ribu. “Setelah itu kami diberikan imbalan Rp 300 ribu,” begitu kata Jairi.

Menurut Jairi, saat bertemu dengan pengacara itu, memang tidak ada membahas apapun selain menyoal demokrasi. Bahkan, kata dia, tidak ada pembicaraan apapun mengenai partai politik (parpol).

Tidak ada juga pembahasan soal gugat-menggugat, apalagi terhadap PDI Perjuangan. Serta tidak ada pembicaraan mengenai pemberian-penerimaan kuasa hukum. Oleh karena itu, kata Jairi, atas pernyataan maaf kelima kader tersebut, juga akan memastikan mencabut kuasa terhadap pengacara tersebut. Dan juga akan mencabut gugatan di PTUN Jakarta.

“Karena itu malam ini juga, kita buat surat pencabutan gugatan yang mengatasnamakan kami. Dan kami tidak memberikan kuasa kepada siapapun termasuk ke Anggiat BM Manalu. Kami tidak pernah memberikan kuasa. Karena itu kami akan mencabut tuntutan tersebut. Kami tidak menuntut atau menggugat SK DPP PDIP. Kami dalam posisi dijebak,” kata Jairi.

“Dan sekali lagi, kami meminta maaf kepada ketua umum kami, Ibu Hajjah Megawati Soekarnoputri, beserta seluruh keluarga besar PDIP,” kata Jairi menambahkan.

Sebelumnya, sejumlah orang yang mengatasnamakan kader PDI Perjuangan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta, Selasa (10/9).

Para kader Banteng Moncong Putih itu menggugat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang mengesahkan kepengurusan DPP PDI Perjuangan 2019-2024. Dalam gugatannya, para penggugat mempersoalkan keputusan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang memperpanjang masa kepemimpinannya sampai 2025 mendatang.

Menurut para penggugat, perpanjangan masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut, bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI Perjuangan. Karena mengacu dasar hukum dan aturan internal tersebut, masa kepemimpinan ketua umum hanya selama lima tahun dari 2019 sampai 2024. Dan perpanjangan kepemimpinan Megawati sampai 2025 tersebut, dinilai tidak sah karena dilakukan tanpa melalui kongres partai. (wol/republika/mrz/d2)