LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -129 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering dikenal sebagai pemimpin revolusioner yang dapat menggugah semangat orang, tetapi Gubernur Suryo juga merupakan seorang orator yang berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang bersejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Dia bukan personel militer. Tetapi dia mengerti bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia mengerti peran kepemimpinannya: Seorang pemimpin harus sopan, harus membela kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh besar kepada generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin membuat keputusan sulit dan bagaimana seorang pemimpin bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo merupakan bagian integral dari peristiwa pada 10 November 1945. Ia berada di belakang keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa bersejarah terpenting yang pernah dilawan oleh rakyat Indonesia. Itu adalah pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari para pemuda dan murid madrasah Surabaya, dan Tentara Inggris. Itu adalah peristiwa yang sangat pahlawan dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang sulit diperjuangkan dari Republik Indonesia.

Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menewaskan lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsikan 200.000 warga sipil. Pertempuran masif dan sengit ini diperingati setiap tanggal 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dengan kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir satu minggu antara Brigade yang dipimpin oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby membuat kesalahan besar karena ia membagi brigadenya menjadi unit-unit level peleton yang menduduki banyak pos terpencil di Surabaya. Pada saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah menangkap ribuan senjata dari Jepang. Beberapa adalah pasukan resmi. Yang lainnya adalah relawan. Yang lainnya lagi adalah geng bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak dapat saling membela karena mereka terlalu tersebar tipis di kota sebesar Surabaya. Brigade itu dihancurkan sebagai kekuatan yang terorganisir. Tindakan-tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Tentu saja, ini mempermalukan Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan unit-unit Indonesia diserahkan senjata mereka.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar pelakunya ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dengan kebuntuan.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara untuk semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum tersebut menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua warga Indonesia yang tidak berwenang membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua perempuan dan anak-anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 6 sore. Jika perintah tersebut tidak dipatuhi, Tentara Inggris bersumpah akan menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum tersebut menciptakan kepanikan di antara penduduk Surabaya. Tetapi kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap untuk berperang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya untuk tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian sepenuhnya menyerahkan keputusan tentang bagaimana merespons kepada rakyat Surabaya.

Pada saat kritis tersebut, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, dengan perpanjangan, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang mampu bertahan dari serangan militer besar oleh pasukan asing. Bangsa pahlawan ini tidak takut pada siapa pun, termasuk kekuatan super seperti Britania, untuk membela kedaulatannya. Sebaliknya, jika ia memutuskan untuk menerima ultimatum tersebut, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang terhina, bangsa yang tunduk di bawah ultimatum yang diterbitkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini adalah milik Gubernur Suryo sepenuhnya.

Saat batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris hampir berakhir, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan besar kepada rakyat Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak penuh semangat. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua orang yang mendengarnya untuk mengambil senjata membela Surabaya.

Meskipun Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal karena orasinya yang menggugah, Gubernur Suryo yang tenang namun tegas juga memiliki kekuatan yang sama. Pidato Gubernur Suryo berfungsi sebagai ‘seruan pertempuran’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah. Kita hanya bisa membayangkan emosinya saat ia berbicara kepada rakyat Surabaya.

Lebih sulit untuk dipahami, mengingat Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya mengenali perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani membuat keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia harapan rakyatnya. Inilah kualitas kepemimpinan besar yang telah ditunjukkan kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH DIHANCURKAN DARIPADA DIREKOLONISASI LAGI!

Saudara-saudari,

Pemimpin-pemimpin kami di Jakarta telah berusaha sekuat tenaga untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Namun sayangnya, semua itu sia-sia. Sekarang terserah kami, rakyat Surabaya, untuk memutuskan tindakan selanjutnya. Semua upaya kami untuk bernegosiasi gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan bangsa kami, kita harus menegakkan dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi semua kemungkinan.

Berulang kali, kami telah menyatakan posisi kami: Kami lebih memilih dihancurkan daripada direkolonisasi. Sekarang, di hadapan ultimatum Inggris, kami akan tetap mempertahankan sikap itu. Kami akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.

Menyongsong setiap kemungkinan hari esok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, angkatan bersenjata (TKR), polisi, pemuda, dan organisasi perlawanan masyarakat. Marilah kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan dan Kebimbingan serta Berkat-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link