LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART 2)

by -624 Views

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Himawan Soetanto adalah salah satu pemimpin yang patut dicontohkan dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Salah satu nilai yang saya pelajari dari beliau adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan para bawahannya. Seorang komandan harus selalu berada di tengah-tengah para bawahannya, dari bangun pagi hingga tidur. Seorang komandan harus memeriksa kondisi para bawahannya, mulai dari dapur mereka, kamar mandi, hingga kualitas pakaian dalam mereka. Berkat Pak Himawan Soetanto, saya mengembangkan kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan para bawah saya. Suatu kali, saya menemukan bahwa pakaian dalam putih para prajurit saya telah berubah menjadi cokelat. Saya juga mengetahui bahwa dapur merupakan sumber praktik korup yang paling banyak. Bayangkan saja, satu kilogram daging dihitung untuk 16 orang. Di TNI, ini dikenal sebagai ‘daging pisau cukur’ karena dagingnya tipis seperti pisau cukur. Sungguh tragis.

Itu adalah beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto. Pertama kali saya mengenal beliau adalah ketika saya bergabung di AKABRI pada tahun 1970. Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pelatihan. Beliau sangat terpelajar. Beliau fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Beliau bahkan bisa sedikit berbicara dalam bahasa Jepang, yang beliau pelajari selama pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga suka membaca buku-buku sejarah. Sekali lagi, tokoh-tokoh besar yang saya kenal adalah pembaca buku yang rajin. “Pemimpin yang baik harus membaca dengan tekun,” seperti pepatah terkenal. Rumahnya dipenuhi dengan banyak buku. Setiap kali saya bertemu dengannya, beliau selalu membahas buku dengan saya. Beliau kadang-kadang menanyakan apakah saya pernah membaca buku karya B. H. Liddell Hart, seorang sejarawan Britania tentang strategi militer, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya. Hal lain yang mengesankan dari beliau adalah penampilannya yang rapi. Wajahnya selalu penuh senyuman. Beliau selalu humoris, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan para bawahannya. Pengalaman bertempur beliau yang panjang terlihat dari tingkah lakunya. Hal ini berbeda dengan beberapa orang yang tidak memiliki banyak pengalaman bertempur. Mereka cenderung dingin dan jauh dengan para bawahannya. Mereka selalu ingin taat pada aturan. Istilah kami di TNI untuk jenis karakter seperti ini adalah bermindset PUD atau perwira PUD. PUD adalah singkatan dari Peraturan Keuangan dan Tata Usaha. Sementara itu, para pemimpin TNI yang terbiasa berada di tengah-tengah para bawahannya di lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saya ingat artikel dalam PUD yang menyatakan bahwa komandan satuan dapat menyesuaikan PUD dengan kondisi masing-masing satuan. Ini berarti bahwa seorang komandan memiliki wewenang besar untuk menyesuaikan peraturan berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan para bawahannya. Komandan harus bersama mereka dari fajar hingga senja. Komandan harus memeriksa kondisi para bawahannya, mulai dari dapur, kamar mandi, hingga pakaian dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan. Suatu saat, saya pernah menemukan pakaian dalam para prajurit saya berwarna cokelat, tidak lagi putih. Saya juga mengetahui bahwa dapur telah menjadi sumber banyak praktik korup. Satu kilogram daging akan dibagi antara 16 orang! Ini menjadi terkenal di TNI sebagai ‘daging pisau cukur’, daging tipis seperti pisau cukur. Tragis. Itu adalah beberapa hal kepemimpinan praktis yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto.

Letnan Jenderal Himawan Soetanto memiliki karier gemilang. Beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang di militer. Saya sangat dekat dengannya. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah beliau pensiun. Beliau adalah salah satu mentorku. Beberapa hari sebelum kematiannya, saya mengunjunginya di rumah sakit. Putranya memberi tahu saya bahwa, selain anggota keluarga dekat, beliau juga ingin melihat saya. ‘Di mana jenderal tempur?’ Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud dengan “jenderal tempur”. Beberapa dari mereka berusaha klarifikasi apakah beliau mengacu padaku. Beliau mengangguk. Saya tersentuh mendengar cerita tersebut. Oleh karena itu, ketika saya mengunjunginya, saya berdiri tegak dan memberi salam kepadanya. Pada saat itu, saya sudah pensiun, dan saya datang mengenakan pakaian sipil. Karena kami sering berbicara menggunakan bahasa Inggris, saya katakan kepadanya dalam bahasa Inggris, ‘Anda adalah jenderal sejati, Pak!’ Air mata beliau menetes. Pada saat itu, beliau tidak dapat berbicara lagi. Itu adalah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Sungguh suatu kehormatan bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap untuk bertemu saya di saat-saat terakhirnya.

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo adalah sosok karismatik. Beliau tampan, selalu rapi berpakaian. Beliau dikenal sebagai sosok yang memimpin dari garis depan. Bahkan sebagai komandan Pasukan Khusus (RPKAD), beliau aktif di lapangan. Beliau menjadi idola para mahasiswa, pemuda, dan idola kami, para perwira muda dan kadet. Sebagai mentorku di AKABRI, beliau sering berbagi pengalaman. Saat itu, beliau menanamkan semangat untuk tidak menyerah, semangat patriotisme. Beliau juga sempat menulis buku berjudul Hidupku untuk Negeri dan Bangsa. Nilai tersebut ditanamkan dalam diri kami sebagai Kadet AKABRI. Patriotisme melalui cinta tanah air dan bangga dengan warisan leluhur kami. Itu yang Pak Sarwo tanamkan dalam diri kami.

Pertama kali saya bertemu dengan Jenderal Sarwo Edhie adalah saat saya masih menjadi kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL), tetapi sudah sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga adalah sahabat dekat orangtua saya. Sebelum saya resmi menjadi kadetnya, saya telah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orangtua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS) pada momen-momen krisis pada Oktober 1965 selama kudeta G30S/PKI. Beliau adalah sosok karismatik. Tampan, selalu rapi berpakaian. Beliau juga dikenal sebagai komandan yang memimpin operasi dari garis depan. Ketika menjabat sebagai komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS), beliau tetap terlibat di lapangan, sehingga beliau juga menjadi idola para kadet muda. Sebagai mentorku di AKABRI, beliau sering berbagi pengalaman. Saat itu, beliau menanamkan semangat untuk tidak menyerah dan patriotisme. Beliau juga menulis buku berjudul ‘Hidupku untuk Negeri dan Bangsa’. Nilai tersebut kami terima sebagai kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta tanah air dan bangga pada warisan leluhur kami, itulah semangat yang Pak Sarwo Edhie tanamkan dalam diri kami.

Setelah pensiun dari dinas aktifnya, beliau singkatnya menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Untuk jangka waktu singkat, beliau juga menjadi Ketua Badan Pengawas Pelaksanaan dan Penginternalisasian Nilai-Nilai Pancasila (BP7). Saya ingat bagaimana beliau menjaga sikapnya sebagai seorang prajurit. Sebagai seorang prajurit yang dikenal karena kejujuran dan integritasnya, beliau tidak meninggalkan banyak kekayaan saat beliau meninggal. Kebetulan, sepanjang hidupnya, beliau menikahkan ketiga putrinya dengan lulusan AKMIL. Yang tertua dengan Kolonel Infanteri Hadi Utomo, lulusan angkatan 1970; yang kedua dengan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, lulusan angkatan 1973, yang kemudian menjadi Presiden ke-6 Republik Indonesia; dan yang termuda dengan Letnan Jenderal TNI Erwin Sudjono, yang kemudian menjadi Panglima KOSTRAD. Saya juga kenal ketiga perwira ini dengan baik.

Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution adalah satu-satunya tokoh ‘generasi 45’ yang saya memiliki kesempatan luar biasa untuk berbicara langsung dengannya, sesuatu yang tidak banyak orang alami di negara ini. Saya merasa seperti menjadi mahasiswa dari seorang tokoh sejarah. Beliau sering berbagi pengalaman, pendapat, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan banyak hal lain dengan saya. Beliau juga sangat pandai dalam sejarah dan berbagai bahasa, seperti halnya para tokoh ‘generasi 45’ lainnya.

Source link