Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang mengantisipasi banjirnya misinformasi menjelang Pemilu 2024. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel A Pangerapan, mengatakan bahwa sangat penting untuk menyampaikan informasi dengan cepat dari badan atau lembaga yang memiliki otoritas. Dia menyarankan agar Indonesia belajar dari pengalaman pandemi Covid-19 di mana masyarakat mendapatkan informasi dari sumber yang tidak kredibel, yang akhirnya menyebabkan masalah di masyarakat.
“Fenomena misinformasi muncul karena badan otoritas yang memiliki kewenangan terlambat menginformasikan kepada publik. Kelemahan ini memungkinkan informasi yang sebagian kecil menjadi informasi yang besar. Oleh karena itu, diperlukan kecepatan dari lembaga yang memiliki otoritas terkait untuk memberikan informasi tersebut,” kata Semuel dalam siaran pers Kominfo RI, Jumat (20/10).
Menurut Semuel, partisipasi aktif peserta Pemilu sangat penting dalam membantu mengurangi banjirnya disinformasi. Terlebih lagi, peserta Pemilu memiliki basis pendukung yang selalu mendapatkan berbagai informasi setiap harinya.
“Para peserta harus memiliki integritas karena jika tidak, pengikut mereka akan semakin kacau. Oleh karena itu, diperlukan saluran resmi dari para peserta sebagai referensi. Jika ada masalah, periksa dan tinjau informasinya,” katanya.
Semuel menilai hasil survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Google Indonesia dapat menjadi referensi untuk menetapkan atau mengkaji ulang program yang ada di Kementerian Kominfo.
“Saya sangat berterimakasih dengan hasil kajian ini. Mungkin kita bisa bekerja sama lebih dalam lagi. Karena ada banyak program terutama dalam pencegahan hoaks. Kita memiliki program literasi digital, mungkin program literasi digital kita perlu diperbaiki atau mungkin ada program lain yang perlu diperbaiki,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, menegaskan bahwa misinformasi sudah terjadi menjelang Pemilu 2024. Data mengenai penyebaran misinformasi tersebut didapatkan setelah mengamati penyebaran berita tentang Pemilu 2024.
“Kami melakukan observasi sederhana dan mendeteksi bahwa penyebaran misinformasi sudah dimulai. Meskipun penyebaran misinformasi masih rendah, tetapi sudah ada,” kata Arya.
Ia juga menyoroti kasus misinformasi yang terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019. Misinformasi tersebut lebih banyak ditujukan kepada Jokowi, bahkan sampai menciptakan polarisasi di masyarakat.
“Pada Pemilu 2014 dan 2019, penyebaran informasi sangat tinggi, dan polarisasi di masyarakat juga tinggi. Saat itu, Pak Jokowi menjadi sasaran misinformasi paling banyak,” ujarnya.
Arya juga menjelaskan bahwa CSIS mendapatkan data tentang misinformasi melalui mesin pencarian Google, yaitu melalui fitur Google Trends untuk melihat isu yang paling banyak dicari oleh masyarakat. “Kami melihat seberapa besar isu tersebut mencuat melalui Google Trends. Pencarian masyarakat mulai menunjukkan penurunan pada bulan Maret-Mei 2023, namun meningkat pada bulan Juni karena isu pemilu didorong oleh manuver politik Presiden Jokowi,” kata Arya.